Jumat, 13 Desember 2019

Kedudukan Advokat Dalam Sistem Peradilan Pidana


MAKALAH
KEADVOKATAN
“ KEDUDUKAN ADVOKAT DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA’’
OLEH :
KELOMPOK 4
ANDI RAMLAH INDAH FAUZIAH                                            181130886
SRI YUSTIKA RAHMAH                                                              181121024
HARMILA                                                                                        181130929
SRI DEWI SARLINDA                                                                   181131023
CHINDY GRACEA                                                                         181120906
MISNAWATI                                                                                    181120961
AL MUSTAKIM FAAT                                                                   181130882

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
2019 / 2020



KATA PENGANTAR        
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah pada mata kuliah Keadvokatan
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen pengampuh mata kuliah keadvokatan yang telah membimbing kami dalam menulis makalah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kolaka,      November 2019



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
A.    Latar Belakang .................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C.     Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
BAB II ............................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A.    Kedudukan Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana ................. 3
B.     Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana ................................................................................................. 4
C.     Peranan Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu ............................................................... 6
BAB III ........................................................................................................... 10
PENUTUP ....................................................................................................... 10
A.    Kesimpulan .......................................................................................... 10
B.     Saran .................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 11

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Bantun hukum dapat diberikan oleh sesorang yang memahami hukum, atau yang disebut penasehat hukum, seperti pengecara dan Advokat. Dalam perkara Pidana Pemberi Bantuan hukum disebut pembela, yang dileksanakan oleh penasehat hukum yang disebut Advokat. Seorang Advokat adalah penasehat hukum yang tidak saja dapat bertindak sebagai pengacara dalam perkara perdata tapi juga dapat dalam bertindak sebagai perkara pidana. Menurut pasal 186 RO lama Advokat itu diangkat Menteri Kehakiman dan disarankan berkelar Sarjana Hukum.
Didalam perkara pidana tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selam dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan perkara. Untuk mendapatkan penasehat hukum tersaangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 54-55 KUHAP). Bagi tersangka dan terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan mati, yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, maka pejabat bersangkutan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka yang memberikan bantuan hukumnya dengan Cuma-Cuma (pasal 56 KUHAP).
Dalam melaksanakan tugasnya memberikan bantuan hukum penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. Bahkan untuk kepentingan pembelaan setiap waktu penasehat  hukum dapat menghubungi dan berbicara dengan tersangka (pasal 69-70 KUHAP). Dengan berhubungan dengan tersangka penasehat penasehat hukum diawasi oleh penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa) atau petugas lembaga permasyarakatan  (petugas penjara) tanpa mendengar isi pembicaraannya, kecuali dalam hal kejahatan keamanan Negara (pasal 71 KUHAP).



B.   Rumusan Masalah
1.      Apa kedudukan advokat dalam sistem peradilan pidana?
2.      Apa Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana?
3.      Apa Peranan Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu?
C.   Tujuan Penulisan
1.      Agar mengetahui kedudukan advokat dalam sistem peradilan pidana.
2.      Agar mengetahui Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana.
3.      Agar mengetahui Peranan Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana 
 Seorang advokat adalah seorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam ketentuan undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Dalam UU Advokat tersebut ditegaskan bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan.
Penempatan advokat sebagai sub sistem dalam sistem peradilan pidana sejajar dengan subsistem yang lain (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) merupakan langkah maju dan sangat penting artinya bukan saja bagi pencari keadilan (Justisiabel), tetapi juga demi kepentingan kelancaran proses itu sendiri. Sebagai konsekuensi logis dari pemikiran ini adalah para advokat harus diberi peluang yang cukup baik melalui pengaturan maupun dalam praktek pemberian bantuan hukum untuk akses secara penuh dalam proses peradilan pidana. Sebagaimana ditegaskan dalam UU No.18 tahun 2003 bahwa seorang advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, wacana memasukkan profesi Advokat atau Penasihat hukum dalam Sistem Peradilan Pidana menjadi sub sistem bukanlah sesuatu yang mudah. Hal tersebut, tidak lepas dari hambatan-hambatan.
Secara akademis dan (praktis) ternyata masih ada perbedaan pandangan terhadap kedudukan advokat ini. Sebagian kalangan berpendirian bahwa komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini, terutama instansi atau badan yang terdiri dari kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu dipihak lain ada juga pendapat yang menyatakan bahwa para penasihat hukum juga bisa ditambahkan sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana. 
Atau bisa dikatakan penegak hukum lainnya seperti Hakim, Jaksa, dan Polisi dimana eksistensi mereka sangat kuat dibuktikan dengan adanya Undang-undang yang mengatur tentang profesi mereka yang dituangkan secara rinci dan sistematis. Hal inilah yang kemudian manjadikan profesi Advokat itu menjadi dipandang sebelah mata oleh penegak hukum lainnya. Sehingga ketika berhadapan antara Advokat dengan penegak hukum lainnya kedudukan Advokat bisa dikatakan lebih rendah. Namun keadaan dan situasi sekarang telah berbeda terutama sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dimana di dalam Undangundang tersebut kedudukan Advokat adalah juga sebagai salah satu penegak hukum, bahkan merupakan satu-satunya penegak hukum yang bebas
Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2003 memberikan definisi Advokat sebagai orang yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU. Lingkup jasa hukum ternyata cukup luas. Pasal 2 menyatakan bahwa Konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien adalah merupakan bentuk dari jasa hukum. Karenanya, sejak klien datang dan kemudian melakukan konsultasi hukum kepada Advokat, maka Advokat tersebut sudah melakukan jasa hukum. Mengenai bantuan hukum adalah berbeda dengan jasa hukum. Perbedaan ini dilihat dari segi hak dan kewajiban yang melekat antara Advokat dan klien. Memang pada dasarnya hak dan kewajiban antara Advokat dan kliennya adalah sama berkaitan dengan jasa hukum dan bantuan hukum.
B.     Hambatan-hambatan Untuk Menempatkan Advokat Sebagai Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana 
Menempatkan suatu lembaga hukum menjadi sub sistem dari suatu sistem bukanlah suatu hal yang mudah. Begitupun Advokat/ Penasihat hukum untuk ditempatkan sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana memiliki beberapa kendala yang cukup menghambat sehingga profesi ini hingga kini mengalami perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi, apakah ia dapat masuk menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana atau tidak. Adapun hambatan-hambatan yang dapat dirasakan dan dilihat adalah sebagai berikut:
1.       Masalah peraturan perundang-undangan. 
Peraturan perundang-undangan tidak hanya cukup dengan lahirnya UU Advokat semata melainkan harus didukung dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya terhadap kedudukan Advokat itu sendiri, seperti peraturan perundang-undangan yang ada di sistem maupun di sub sistemnya yang lainnya. Seperti KUHAP, UU Kekuasaan Kehakiman, dan lain sebagainya. Sehingga peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal.
2.      Konflik intern dalam organisasi advokat itu sendiri
Organisasi advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undangundang. Fenomena yang cukup hangat beberapa waktu yang lalu adalah konflik intern di dalam tubuh organisasi Advokat, di mana konflik yang mempermasalahkan keabsahan organisasi tunggal advokat yang mewadahi 8 organisasi advokat yang diakui oleh undang-undang. Konflik yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam faktor membawa profesi ini cukup goyah sebagai lembaga penegak hukum di mata masyarakat. Meskipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006,telah menyatakan salah satu organisasi advokat yang sedang berseteru tersebut sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang sah, namun pada dasarnya organisasi advokat tersebut adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara.”. Namun fenomenanya adalah organisasi yang merasa tidak diakui keberadaanya tersebut tetap saja tidak mengakui organisasi advokat yang sah sebagai organisasi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Sehingga fenomena semakin mempersulit profesi advokat sebagai lembaga penegak hukum untuk menjadi bagian sub sistem dari sistem peradilan pidana. Karena jika ditempatkan pun sebagai sub sistem, organisasi manakah yang harus masuk. Maka dari itu, konflik intern yang belum kunjung berakhir sebaiknya diselesaikan sesegera mungkin.

3.       Honorarium profesi advokat 
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa seorang Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan dari kliennya. Hal mana besarnya honorarium atas jasa hukum tersebut ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak sebagaimana keberadaan honorarium atas hak jasa hukum seorang advokat tersebut dilindungi oleh undang-undang advokat. Permasalahan muncul adalah apabila Advokat ditempatkan menjadi bagian dari sub sistem dari sistem peradilan pidana, bagaimanakah pengaturan honorariumnya? Sementara sub sistem dari sistem peradilan pidana lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan masuk dalam Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah memiliki pengaturannya yang pasti baik dari jumlah maupun waktu penerimaannya. Sementara advokat selama ini lebih bersifat wiraswasta, bisa mendapatkan jumlah yang sangat besar bisa juga jauh lebih kecil dari gaji PNS, hal inilah menjadikan perdebatan dikalangan advokat itu sendiri.

C.    Peranan Advokat Dalam Memberikan Bantuan Hukum Mampu Mendukung Terwujudnya Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Hadirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat secara yuridis normatif, substantif bantuan hukum yang diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman maupun Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) dikonstruksikan sebagai suatu hak, bantuan hukum ini mendapat dukungan dalam hukum positif dengan harapan dapat dilaksanakan secara konsekuen. Sehingga kebutuhan akan bantuan hukum tersebut disamping demi kepentingan mereka yang terlibat suatu perkara (tersangka atau terdakwa) juga untuk kepentingan sistem peradilan pidana itu sendiri yaitu dalam rangka membantu mencari kebenaran meteriil atas suatu perkara pidana. mendapatkan kebenaran materiil adalah suatu tujuan yang harus dicapai oleh hukum acara pidana, yang pelaksanaanya dilakukan dengan sistem yang dinamakan sistem peradilan pidana.
Sistem Peradilan Pidana adalah suatu komponen (sub system) peradilan pidana yang saling terkait atau tergantung satu sama lain dan bekerja untuk satu tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat. Dari pengertian ini sudah menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub system yang ada dalam peradilan. Sedangkan kata terpadu dalam sistem peradilan terpadu disini adalah adanya kesamaaan prosedur (sub sistem dalam peradilan pidana pada posisi masing-masing harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan/ ditentukan di dalam undang-undang), persepsi (adanya pemahaman/ pengetahuan yang sama antara sub-sub system terhadap perkara/ kasus yang ada), dan tujuan (sub-sub sistem peradilan harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.
Maka oleh karena itu, untuk menuju sistem peradilan pidana terpadu maka diperlukanlah seorang advokat yang profesional, bukan seorang advokat “asal-asalan”. Dalam UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat telah diatur secara jelas dengan dilengkapi peraturan-peraturan lainnya tentang kualifikasi dan persyaratan-persyaratan yang ketat untuk seseorang dapat diangkat menjadi seorang advokat. Secara umum, seseorang  dapat diangkat menjadi advokat adalah seorang sarjana hukum yang telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat dengan segala persyaratan lanjutannya seperti pemagangan 2 tahun dan lain sebagainya yang kemudian disumpah sebelum menjalankan profesinya serta ketika ia telah sah menjadi advokat maka ia terikat dengan hak dan kewajiban, kode etik profesi dalam menjalankan profesinya dibawah pengawasan organisasi advokat. 
Profesi Advokat disini termasuk ke dalam golongan Lembaga Penegak Hukum non pro justitia di luar pemerintahan yang juga berperan penting dalam dan menentukan pelaksanaan dan wajah penegakan hukummeskipun belum menjadi sub sistem dari sistem peradilan pidana.  Bantuan hukum oleh advokat sangat erat kaitannya dengan usaha pencari keadilan. Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sebagai salah satu hak asasi manusia sangat didambakan oleh semua orang yang tersangkut suatu perkara. Dalam hukum positif Indonesia ketentuan mengenai bantuan hukum ini diketemukan antara lain dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam pasal-pasal 37, 38, 39 dan 40. Disamping itu juga terdapat dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP yaitu pasal-pasal sebagai berikut: 
1.             Bab VI Tentang tersangka atau terdakwa, pasal 54-57; Pasal 60-62.
2.             Bab VII Tentang bantuan hukum, pasal 69-74
3.             Bab XIV tentang Penyidikan, yaitu pasal 114 dan 115.
Ketentuan tersebut di atas bisa dikatakan sebagai perwujudan dan penjabaran lebih lanjut dari asas persamaan di muka hukum (equality before the law) seperti yang tersirat dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.
Bentuk bantuan hukum, yang berkembang di sekitar satu atau dua model dasar, banyak persamaaannya dengan perkembangan di tempat-tempat lain, tetapi tujuannya bermacam ragam menurut landasan berfikir yang menjadi tumpuannya. Jenis umum bantuan hukum, yakni perwakilan profesional secara gratis yang dilakukan oleh pengacara/ advokat tunjukkan pengadilan, dianggap sebagai koreksi terhadap distribusi sumber daya hukum yang timpang antara orang yang berada dan orang miskin. Terutama bila lingkupnya dibatasi pada tuntutan pidana, bantuan hukum merupakan tanggapan minimal, sering juga sebagai pemantas, terhadap kegagalan mitos bahwa semua orang sama di mata hukum.
Bantuan Hukum dikonsepsikan sebagai:
1.      Suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya dan pemenuhannya merupakan kewajiban;
2.      Bantuan hukum merupakan pekerjaan profesional yang memerlukan pendidikan dan keahlian khusus;
3.      Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan pemberian jasa hukum dari seorang ahli hukum kepada mereka yang membutuhkan dan memerlukannya.

Namun demikian, seiring berjalannya proses perubahan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat bukan hanya faktor internal dalam sistem hukum itu sendiri (hukum, aparat, organisasi dan fasilitas), tapi juga faktor-faktor eksternal diluar sistem hukum, seperti sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bahkan dalam era globalisasi sekarang ini, pengaruh faktor tata pergaulan Internasional tidak dapat diabaikan. Pemikiran untuk memaksimalkan peran advokat dalam proses peradilan pidana, tampaknya merupakan pemikiran yang realistis, sebab dalam praktek pemberian bantuan hukum ternyata masih ditemui banyak hambatan baik yang bersifat politis, sosial, ekonomi/finansial, psikologis dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Saat ini, kewenangan Advokat dalam kelembagaan negara adalah sebagai Lembaga Penegak Hukum di luar Pemerintahan. Namun dalam Sistem peradilan Pidana, Advokat belum menjadi sub sistem dari Sistem Peradilan Pidana. Pelbagai subsistem ini berupa kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat peranannya yang semakin besar, seharusnya advokat dapat pula dikategorikan sebagai sub sistem.
Peranan seorang advokat yang profesional ketika memberikan bantuan hukum bagi para pencari keadilan sangat diperlukan dalam rangka menuju sistem peradilan pidana terpadu hingga tercapai perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia. Sistem peradilan pidana yang didukung oleh pengaturan hak bantuan hukum yang memungkinkan komponen advokat mampu secara penuh dalam proses peradilan pidana. Hal mana seorang peranan advokat profesional yang setiap mendampingi klien, memiliki intelegensi yang tinggi, keahlian dan spesialisasi, hubungan pribadi yang luas dengan berbagai instansi, berpegang pada kode etik profesi, kredibilitas serta reputasi, bekerja secara optimal dengan sedikit kerugian serta kemampuan litigasi yang baik. Sebagai sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal.
B.Saran
Dalam penulisan makalah ini sudah barang tentu akan terdapat kesalahan, baik kesalahan dalam pengetikan maupun kesalahan dalam memasukkan data-data yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Karena fitrah kami sebagai manusia memungkinkan kesalahan dan kekhilafan atas diri kami. Karena tidak ada gading yang tak retak seperti itu juga kami.

DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman. 2013. Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: PT Alumni
Sutiyoso, Bamban. 2010. Refarmasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Rusli, Muhammad. 2011. Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Yogyakarta: UII Press.
Rahardjo,Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bagir, MananKedudukan Penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan ke XXI No.243 Februari 2006
M. SanjonoLembaga bantuan Hukum dan Arah pergeseran strategi gerakan, Jurnal Hukum, Vol.4, No.2 September 2001



1 komentar:

  1. Lucky Club Casino Site - luckyclub.live
    Lucky Club Casino Site. Welcome to Lucky Club Casino Site. All information about our affiliate program luckyclub is on our Privacy Policy page. © 2021 Lucky

    BalasHapus